BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan
manusia. Pendidikan memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan
(Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon
perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam
pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis);
tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih
Bertolak dari problematika tersebut di atas, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan
Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern
kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas
Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara
sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum
pendidikan untuk umat Islam.
B.
Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah diatas dapat kami
ambil rumusan masalah sebagai berikut:
- Riwayat singkat dan pemikiranya
- Apa saja konsep pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
- Adakah pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
C.
Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui r iwayat singkat dan pemikiranya
- Untuk mengetahui apa sajakah konsep pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
- Untuk mengetahui adakah pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
BAB II
PEMBAHASAN
Biografi
Inteleqtual Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Dan Konteks
Pemikirannya
A.
Riwayat Singkat dan Pemikiranya
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu berada di bawah kolonialisme Belanda.
Bila dilihat dari garis keturunanya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas termasuk
orang yang beruntung secara inheren, sebab dari kedua belah pihak, baik pihak
ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan
bangsawan sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor.
Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam
tradisi islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung
dari nabi Muhammad.
Melihat garis keturunan di atas dapat dikatakan bahwa Syed
Muhammad Naquib Al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percaturan perkembangan
inteleqtual islam di Indonesia
dan Malaysia.
Faktkor inhern keluarga Syed Muhammad Naquib Al-Attas inilah yang selanjutnya
membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orang tua selama lima tahun pertama
merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya. Orang tuanya yang
sangat religius memberikan pendidikan dasar
yang sangat kuat.
Ketika berusia 5 tahun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas
diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia.
Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar Ngge Heng
Primary School sampai
usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika
jepang menguasai Malaysia,
maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia kemudian
melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di temakpat
ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi
islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di
Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat Naqsabandiyah.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengembangkan potensi
dasarnya yakni bidang inteleqtual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas
sempat mashuk Univesitas Malaya selama 2
tahun. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc. Gill, Canada.
Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar
master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th
Centhury Acheh. Alasan dia mengambil judul tersebut? karena ingin
membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan
dilaksanakan di kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya islam sendiri.
Belum puas dengan pengembaraan inteleqtualnya, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas kemudian melanjutkan studie School of Oriental and
African Studies di Univesitas London, disinilah ia mempunyai pengaruh besar dalam
diri Syed Muhammad Naquib Al-Attas, adalah asumsi yang mengatakan bahwa
terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis dan psikologis,
asumsi dasar inilah yang pada perkembangan selanjutnya dikembangkan oleh Sayyed
Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sendiri.
Memsuki tahapan pengabdian kepada islam, Syed Muhammad
Naquib Al-Attas memulai dengan jabatan dijurusan kajian melayu pada Universitas
Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya
kajian Melayu. Sebab mengkaji sejarah melayu dengan sendirinya juga mendalami
proses islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga
melayu banyak yang berisi ajaran ajaran islam yang kebanyakan dibicarakan dalam
karya melayu adalah ajara-ajaran islam terutama tasawuf. Bahkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendirikan
lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam terutama
filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif
oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah
secara resmi ISTAC (International Institute Of Islamuic Thought and
Civilization) dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya.[1]
B.
Pendidikan dalam Konsep Ta’dib Menurut Syed
Muhammad Naquib Al-Attas
Pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi
manusia. Kata membantu disini mempunyai arti agar manusia itu berhasil menjadi
manusia. Manusia akan dikatakan berhasil apabila memiliki nilai (sifat)
kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia.[2]
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
membahas tentang
kata Ta'dib berasal dari bahasa Arab yang berbentuk kata kerja addaba yang berarti memberi adab, yang sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).[3] Dan dalam terminologinya berarti penanaman adab pada diri manusia melalui proses pendidikan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut islam) adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kepada arah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.[4]
kata Ta'dib berasal dari bahasa Arab yang berbentuk kata kerja addaba yang berarti memberi adab, yang sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).[3] Dan dalam terminologinya berarti penanaman adab pada diri manusia melalui proses pendidikan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut islam) adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kepada arah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.[4]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas menganggap bahwa untuk memberikan konsep yang
tepat bagi pendidikan Islam adalah dengan istilah Ta'dib dan bukan tarbiyah
atau ta'lim. Beliau sangat tidak setuju kalau tarbiyah dijadikan sebagai konsep
bagi pendidikan Islam, hal itu karena menurut beliau kata tarbiyah konotasinya
baru dan dibuat-buat serta mengarah kepada pemikiran modernis. Mereka
membuat-buat konsep dalam pemakaiannya terhadap pendidikan Islam. Padahal pada
hakekatnya konsep ini lebih cenderung kepada konsep pendidikan ala barat yang
menggunakan kata education. Education secara konseptual berasal dari kata latin
educare yang berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang
tersembunyi dan potensial, yang didalamnya tidak lain hanyalah proses penghasilan
pengembangan yang mengarah kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan
material.
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas kata tarbiyah berarti mengasuh, menanggung,
memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam
pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan
menjinakan. Penerapannya dalam bahasa Arab, kata tarbiyah tidak hanya terbatas
pada manusia saja, namun medan
sematiknya meluas kepada spesies-spesies lain, seperti manusia, tumbuh-tumbuhan,
alam, dan hewan[5]. Makanya
dari kata tersebut, Syed Muhammad Naquib Al-Attas lebih condong menggunakan
kata Al-Ta’dib dari Addaba untuk mengambarkan pendidikan, karena dari
kata Addaba itu mempunyai arti untuk mengatur pikiran dan jiwa,
melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan dalam bertindak, membenahi
yang salah serta memelihara dari tingkah laku yang tidak baik.[6]
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas kata tarbiyah
tidak bisa mewakili konsep pendidikan Islam yang memfokuskan objeknya kepada
manusia serta tidak mengarah kepada speases-speases selain manusia, maka dengan
demikian, ta'diblah dalam hal ini yang bisa dijadikan sebagai konsep yang tepat
bagi pendidikan Islam, karena konsep Ta'dib mengacu kepada objek manusia
seutuhnya sekaligus menuju kepada manusia yang baik.[7]
Dalam penerapannya konsep Ta'dib mengarah kepada pendidikan manusia secara
individual untuk mengarah kepada perbaikan manusia secara kolektif dan
menyeluruh sebagai masyarakat yang sempurna. Maka dalam implementasinya, proses
pendidikan dalam konsep Ta'dib tidak dimulai dari pendidikan masyarakat seperti
yang ditempuh oleh barat yang menerapkan konsep pendidikannya pada pembentukan
masyarakat dan tidak mengarah kepada pembentukan individual. Implementasi yang
diterapkan oleh konsep Ta'dib tersebut didasari oleh asumsi Syed Muhammad
Naquib Al-Attas yang menganggap bahwa untuk membentukan sebuah masyarakat yang
utuh harus dimulai dari pembentukan masing-masing individu yang ada di
dalamnya, karena untuk menuju sebuah masayarkat yang baik dengan bermula pada
pembentukan individual akan lebih menjamin bagi tercapainya sebuah kebaikan
yang menyeluruh dan akan lebih fleksibel dalam prakteknya.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas membantah kalau dikatakan bahwa konsep Ta'dib
sebagai pendidian tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Malah justru Syed
Muhammad Naquib Al-Attas beranggapan bahwa konsep Ta'diblah yang dipergunakan
pada masa Rasulullah SAW., Ta'dib yang menekankan kepada ilmu sekaligus amal
yang dibarengi oleh akhlak yang mulia. Secara konseptual, Ta'dib merujuk kepada
akhlak Rasulullah. Maka Ta'dib selalu mengarah kepada konotasi adab yang
diajarkan oleh Rusulullah SAW. “Aku dididik (Ta’dib) oleh tuhanku, maka
ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”(HR. Ibn Hibban)
Sudah jelas kiranya bahwa konsep ta'dib sebagai pendidikan
sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, hanya saja setelah itu terjadi penyempitan
dan pengurangan pada maknanya. Hal itu terjadi karena adanya kekacauan dan
kesalahan dalam pengertian dan pemahaman ilmu-ilmu keislaman pada masa Abbasiyah,
sehingga maknanya menjadi terbatas pada kesusastraan dan etika profesional. Konsep
ta’dib ini dijadikan tolak ukur memahami lebih jauh tentang pendidikan menurut
filsafat islam, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas membatasi bahwa pendidikan
itu terbentuk kepada manusia. Yang menjadi dasar pemikiran filsafat pendidikan
islam yaitu:
1.
Untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat
2.
Hubungan dengan fitrah kejadian manusia
3.
Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi.[8]
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas untuk memberikan
konsep yang tepat bagi pendidikan Islam tidaklah usah lagi memakai istilah Tarbiyah
dan Ta'lim, atau mensejajarkan kedua istilah tersebut dengan Ta'dib untuk membuat
konsep bagi pendidikan islam, karena kata Ta’dib lebih tepat digunakan dalam konteks
pendidikan islam, dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah Tarbiyah dan Ta’lim.[9] dengan
alasan bahwa kalau hal itu terjadi, yang terjadi kemudian adalah kesalahan dan
kekacauan dalam setiap semantik serta sebagai usaha untuk menempatkan konsep
pendidikan Islam pada tempatnya yang haqiqi.
C.
Islamisasi ilmu Pengetahuan Menurut Syed
Muhammad Naquib Al-Attas
Sebelum kita menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu
pengetahuan. Ada
baiknya kita memahami terlebih dahulu arti dari Islamisasi itu sendiri. Islamisasi
adalah pengislaman dunia; usaha mengislamkan dunia.[10] Menurut
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Islamisasi adalah pembebasan manusia dari hal-hal
yang terkait dengan magis, mitologi, animisme, kebangsaan-tradisi budaya yang
bertentangan dengan Islam, dari kendali orang-orang sekuler yang mempengaruhi
pikiran dan bahasa. Dengan demikian adanya pembebasan tersebut, maka umat
Islam, menjadi manusia terbebas dari kendali magis, mitologi, animisme,
kebangsaan-tradisi budaya sendiri yang bertentangan dengan Islam dan paham
sekularisme. Ia dibebaskan dari kedua-duanya, baik dari pandangan hidup
(Worldview) magis, maupun sekuler. Kita sudah mendefinisikan sifat alami
Islamisasi sebagai proses pembebasan. Hal ini dikarenakan bahwa manusia
memiliki fisik dan jiwa, dan pembebasan tersebut mengacu kepada jiwanya, dari
manusia kepada manusia seutuhnya yang memiliki kesadaran dan signifikasi dalam
setiap perbuatan manusia. Islamisasi adalah suatu proses, bukan evolusi sebagai
devolusi bagi keaslian alam; manusia dari sisi jiwa adalah sempurna, Namun,
ketika diwujudkan secara fisik, ia tunduk kepada kelupaan dan kezaliman dan
ketidakadilan bagi dirinya sendiri dan oleh karena itu ia memerlukan
kesempurnaan didalam hidupnya.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa Islamisasi
berperan dalam membebaskan masalah-masalah umat Muslim, antara lain; Pertama,
membebaskan umat Muslim dari kepercayaan terhadap magis dan mitologi, animisme,
seperti cerita rakyat, dongeng, legenda yang tidak diketahui kebenarannya.
Dimana perkembangannya hanya secara oral-verbal atau dari “mulut ke mulut”.
Keberadaan terhadap mitologi ini, tentunya mempengaruhi pola pikir dan pola
hidup manusia yang masih mempercayainya.
Kedua, Tradisi dan kebudayaan suatu bangsa yang melahirkan
sikap fanatik dan keturunan bangsanya sendiri. Baik itu yang mengejewantah
dalam bentuk aliran, golongan, atau organisasi keagamaan tertentu. Ini
menyebabkan pola pikir umat Muslim menjadi dikotomis dan terpecah-pecah.
Sehingga pemahaman terhadap Islam tidak sampai kepada prinsip-prinsip dasar
yang membangunnya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga, Membebaskan umat Islam dari rong-rongan paham
sekularisme, orang-orang sekular, dan gerakan sekularisasi pemikiran yang
secara prinsip dasar menjauhkan antara ilmu dan Tuhan (agama).[11]
Dengan adanya kesenjangan antara ilmu dan Tuhan. Maka konsekuensinya adalah
adanya kesenjangan antara aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan
Tuhan.
Keempat, dengan adanya Islamisasi maka pemahaman
terhadap ilmu dan teraplikasinya dengan amal menjadi lebih jelas. Dengan
maksud, bahwa jiwa manusia menjadi sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang
memiliki jiwa spiritual, bukan makhluk mekanik seperti robot.
Dari keempat poin ini maka Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah pembebasan umat Muslim dari nilai-nilai ilmu pengetahuan yang
bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Dalam bahasa Al-Attas, Islamisasi
ilmu pengetahuan adalah Dewesternisasi Ilmu Pengetahuan (Dewesternitation of
Knowledge).
Islamisasi Ilmu Pengetahuan pertama kali muncul saat
diselenggarakan sebuah komperensi dunia yang pertama di Mekah pada tahun 1977
tentang pendidikan muslim. Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini dilontarkan Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dengan makalahnya "Preliminary Thought on the
Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, Islamisasi
Ilmu pengetahuan ini berarti mengislamkan atau melakukukan penyucian terhadap
ilmu-ilmu pengetahuan produk barat yang selama ini dikembangkan dalam wacana sistem
pendidikan Islam agar diperoleh pengetahuan yang bercorak Islam. Sehingga
islamisasi ilmu pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-Attas memiliki kans
lebih berhasil yang didasarkan pada alasan:
- Posisi Ummat Islam
Posisi ummat islam saat ini, pasca keruntuhan paham
sosialis komonis, menjadi satu-satunya paham yang berseberangan dengan paham.
Kapitalisme barat dunia dalam posisi yang demikian, maka pandangan-pandangan
islam yang murni menjadi sorotan utama bagi para pemikiran internasional
- SDM Merupakan Asset Paling Dominant
Dalam berbgai aspek kehidupan, SDM merupakan unsur
yang paling vital dalam sebuah perubahan, termasuk islamisasi ilmu. Sehingga
SDM yang islami secara inhern akan memiliki pandangan dunia yang islami dan
mengamalkan nilai-nilai islam pula.
- Disiplin Ilmu Merupakan Benda Mati
Upaya islamisasi ilmu dengan mengarah kepada disiplin itu sendiri pada
dasarnya tidak akan mempunyai arti bila tidak berada di tangan orang yang
mempunyai padangan dunia dan mengamlkan nilai-nilai islam. Sebab, disiplin ilmu
itu sendiri merupakan benda mati yang fungsi dan perananya sangat tergantung
pada manusianya.[12]
Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
Islamisasi ilmu Pengetahuan ini timbul karena melihat bahwa pemurnian ajaran
islam,[13]
tentang ilmu pengetahuan pada masa sekarang ini sudah banyak yang dipolakan
dengan corak barat sehingga muncullah pendidikan sekuler. Padahal Islam tidak
menolak sepenuhnya dengan apa yang diadopsi pendidikan Islam dari barat,
seperti metodologinya yang sudah jauh lebih maju dari Islam,. Dan bahaya yang
timbul pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam kebodohan
tetapi pada pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan pengetahuan barat untuk
itu kita tetap harus mengadakan penyaringan terhadap hal-hal dari barat yang
bertentangan dengan Islam.
Pendidikan Islam selalu diarahkan kepada pendidikan
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu pendidikan yang meninggalkan
pembinaan akhlak dan adab. Maka suatu ilmu akan selalu dibarengi oleh amal yang
tidak terlepas dari koridor norma-norma adab. Maka sangat jelas bahwa arah
pendidikan Islam diorientasikan kepada akhlak sebagai mana yang dicontohkan
Rasulullah SAW.
Sedangkan pendidikan ala barat tidak seperti halnya
dengan Islam. memang dalam tataran sains, pola yang mereka terapkan telah
membawa kepada perkembangan dan kemajuan yang pesat menuju hasil yang gemilang,
namun kegemilangan itu hanya terbatas pada hasil yang bersifat materiil. Di
balik itu mereka terperosok ke dalam sebuah krisis moral dan hati, sehingga
wujud ilmu bukan lagi sebagai rahmat dan karunia yang memberikan jalan dan
kemudahan bagi terwujudnya sebuah kehidupan dunia yang damai dan saling
menghargai tetapi malah justru menjadi bumerang dan sumber bencana yang bisa
menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu berada di bawah kolonialisme Belanda.
Bila dilihat dari garis keturunanya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas termasuk
orang yang beruntung secara inheren, sebab dari kedua belah pihak, baik pihak
ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru.
2.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan
(menurut islam) adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala
sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kepada arah
pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.
3.
Islamisasi berperan dalam membebaskan masalah-masalah
umat Muslim, antara lain; Pertama, membebaskan umat Muslim dari kepercayaan
terhadap magis dan mitologi, Kedua, Tradisi dan kebudayaan suatu bangsa yang
melahirkan sikap fanatik dan keturunan bangsanya sendiri, Ketiga, Membebaskan
umat Islam dari rong-rongan paham sekularisme, orang-orang sekular, Keempat,
dengan adanya Islamisasi maka pemahaman terhadap ilmu dan teraplikasinya dengan
amal menjadi lebih jelas.
B.
Saran
Sebagai calon pendidik selektiflah dalam mendidik anak didik dalam
mengaplikasikan ilmu pengetahuannya
terhadap pendidikan dan jadikanlah anak
didik tersebut sebagai pembenahan krisis
pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, Ciputat, Jakarta: Ciputat, 2002
2. Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Remaja
Rosdakarya, Bandung:
2006
3. Mardianto, Pesantren Kilat: Konsep, Panduan, dan
Pengembangan, Ciputat, Jakarta:
2005
4. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma
Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta:
2005
5. Imam Bawani, Isa Anshori, Cendikiawan Muslim: Dalam
Persepektif Pendidikan Islam, Bina Ilmu, Surabaya: 1991
6. Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha
Ilmu, Yogyakarta: 2007
7. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2004
8. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta:
2001
9. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agma di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004
10. Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya:
1994
11. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme,
Penerbit Pustaka, Bandung:
1981
12. Ramayulis, dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia,
Quantum Teaching, Padang: 2005
13. Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, Ciputat, Jakarta: 2002
RIWAYAT
HIDUP
Syamsul Arifin dilahirkan di
Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten
Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra
dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat
yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II, SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA
tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan
perguruan tinggi ditempuh di STAIN
Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan
Agama Islam. (085 334 820 495)
[1] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, (Jakarta: Ciputat, 2002), hlm. 117-121
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 7
[3] Mardianto, Pesantren Kilat: Konsep,
Panduan, dan Pengembangan, (Jakarta:
Ciputat, 2005), hlm. 14
[4] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam:
Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29
[5] Imam Bawani, Isa Anshori, Cendikiawan
Muslim: Dalam Persepektif Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991),
hlm. 71
[6] Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 69
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Persepektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 46
[8] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2001), hlm. 118
[9] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agma di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 37
[10] Pius A
Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Akola, 1994), hlm. 274
[11] Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung : Penerbit
Pustaka, 1981), hlm. 43
[12]
Ramayulis, dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia,
(Padang:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 130
[13]
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
praktis, (Jakarta:
Ciputat, 2002), hlm. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar