Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 14 Januari 2012

Biografi Inteleqtual Syed Muhammad Naquib Al-Attas Dan Konteks Pemikirannya


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih
Bertolak dari problematika tersebut di atas, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam.
B.     Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah diatas dapat kami ambil rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Riwayat singkat dan pemikiranya
  2. Apa saja konsep pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
  3. Adakah pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
C.    Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui  r iwayat singkat dan pemikiranya
  2. Untuk mengetahui apa sajakah konsep pendidikan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
  3. Untuk mengetahui adakah pengaruh islamisasi ilmu pengetahuan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
BAB II
PEMBAHASAN

Biografi Inteleqtual Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Dan Konteks Pemikirannya

A.    Riwayat Singkat dan Pemikiranya
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunanya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren, sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan  mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari nabi Muhammad.
Melihat garis keturunan di atas dapat dikatakan bahwa Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percaturan perkembangan inteleqtual islam di Indonesia dan Malaysia. Faktkor inhern keluarga Syed Muhammad Naquib Al-Attas inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orang tua selama lima tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya. Orang tuanya yang sangat religius memberikan pendidikan dasar  yang sangat kuat.
Ketika berusia 5 tahun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar Ngge Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika jepang menguasai Malaysia, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di temakpat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat Naqsabandiyah.  
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang inteleqtual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat  mashuk Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh. Alasan dia mengambil judul tersebut? karena ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan di kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya islam sendiri.
Belum puas dengan pengembaraan inteleqtualnya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas kemudian melanjutkan studie School of Oriental and African Studies di Univesitas London, disinilah ia mempunyai pengaruh besar dalam diri Syed Muhammad Naquib Al-Attas, adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis dan psikologis, asumsi dasar inilah yang pada perkembangan selanjutnya dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sendiri.
Memsuki tahapan pengabdian kepada islam, Syed Muhammad Naquib Al-Attas memulai dengan jabatan dijurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu. Sebab mengkaji sejarah melayu dengan sendirinya juga mendalami proses islamisasi di Indonesia  dan Malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yang berisi ajaran ajaran islam yang kebanyakan dibicarakan dalam karya melayu adalah ajara-ajaran islam terutama tasawuf. Bahkan  Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute Of Islamuic Thought and Civilization) dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya.[1]
B.     Pendidikan dalam Konsep Ta’dib Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi manusia. Kata membantu disini mempunyai arti agar manusia itu berhasil menjadi manusia. Manusia akan dikatakan berhasil apabila memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia.[2]
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, membahas tentang
kata Ta'dib berasal dari bahasa Arab yang berbentuk kata kerja addaba yang berarti memberi adab, yang sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah).[3] Dan dalam terminologinya berarti penanaman adab pada diri manusia melalui proses pendidikan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut islam) adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kepada arah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.[4] 
Syed Muhammad Naquib Al-Attas  menganggap bahwa untuk memberikan konsep yang tepat bagi pendidikan Islam adalah dengan istilah Ta'dib dan bukan tarbiyah atau ta'lim. Beliau sangat tidak setuju kalau tarbiyah dijadikan sebagai konsep bagi pendidikan Islam, hal itu karena menurut beliau kata tarbiyah konotasinya baru dan dibuat-buat serta mengarah kepada pemikiran modernis. Mereka membuat-buat konsep dalam pemakaiannya terhadap pendidikan Islam. Padahal pada hakekatnya konsep ini lebih cenderung kepada konsep pendidikan ala barat yang menggunakan kata education. Education secara konseptual berasal dari kata latin educare yang berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi dan potensial, yang didalamnya tidak lain hanyalah proses penghasilan pengembangan yang mengarah kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material.
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas  kata tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang, dan menjinakan. Penerapannya dalam bahasa Arab, kata tarbiyah tidak hanya terbatas pada manusia saja, namun medan sematiknya meluas kepada spesies-spesies lain, seperti manusia, tumbuh-tumbuhan, alam, dan hewan[5]. Makanya dari kata tersebut, Syed Muhammad Naquib Al-Attas lebih condong menggunakan kata Al-Ta’dib dari Addaba untuk mengambarkan pendidikan, karena dari kata Addaba itu mempunyai arti untuk mengatur pikiran dan jiwa, melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan dalam bertindak, membenahi yang salah serta memelihara dari tingkah laku yang tidak baik.[6]
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas kata tarbiyah tidak bisa mewakili konsep pendidikan Islam yang memfokuskan objeknya kepada manusia serta tidak mengarah kepada speases-speases selain manusia, maka dengan demikian, ta'diblah dalam hal ini yang bisa dijadikan sebagai konsep yang tepat bagi pendidikan Islam, karena konsep Ta'dib mengacu kepada objek manusia seutuhnya sekaligus menuju kepada manusia yang baik.[7] Dalam penerapannya konsep Ta'dib mengarah kepada pendidikan manusia secara individual untuk mengarah kepada perbaikan manusia secara kolektif dan menyeluruh sebagai masyarakat yang sempurna. Maka dalam implementasinya, proses pendidikan dalam konsep Ta'dib tidak dimulai dari pendidikan masyarakat seperti yang ditempuh oleh barat yang menerapkan konsep pendidikannya pada pembentukan masyarakat dan tidak mengarah kepada pembentukan individual. Implementasi yang diterapkan oleh konsep Ta'dib tersebut didasari oleh asumsi Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang menganggap bahwa untuk membentukan sebuah masyarakat yang utuh harus dimulai dari pembentukan masing-masing individu yang ada di dalamnya, karena untuk menuju sebuah masayarkat yang baik dengan bermula pada pembentukan individual akan lebih menjamin bagi tercapainya sebuah kebaikan yang menyeluruh dan akan lebih fleksibel dalam prakteknya.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas  membantah kalau dikatakan bahwa konsep Ta'dib sebagai pendidian tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Malah justru Syed Muhammad Naquib Al-Attas beranggapan bahwa konsep Ta'diblah yang dipergunakan pada masa Rasulullah SAW., Ta'dib yang menekankan kepada ilmu sekaligus amal yang dibarengi oleh akhlak yang mulia. Secara konseptual, Ta'dib merujuk kepada akhlak Rasulullah. Maka Ta'dib selalu mengarah kepada konotasi adab yang diajarkan oleh Rusulullah SAW. “Aku dididik (Ta’dib) oleh tuhanku, maka ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”(HR. Ibn Hibban)
Sudah jelas kiranya bahwa konsep ta'dib sebagai pendidikan sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, hanya saja setelah itu terjadi penyempitan dan pengurangan pada maknanya. Hal itu terjadi karena adanya kekacauan dan kesalahan dalam pengertian dan pemahaman ilmu-ilmu keislaman pada masa Abbasiyah, sehingga maknanya menjadi terbatas pada kesusastraan dan etika profesional. Konsep ta’dib ini dijadikan tolak ukur memahami lebih jauh tentang pendidikan menurut filsafat islam, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas membatasi bahwa pendidikan itu terbentuk kepada manusia. Yang menjadi dasar pemikiran filsafat pendidikan islam yaitu:
1.      Untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat
2.      Hubungan dengan fitrah kejadian manusia
3.      Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi.[8]
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas untuk memberikan konsep yang tepat bagi pendidikan Islam tidaklah usah lagi memakai istilah Tarbiyah dan Ta'lim, atau mensejajarkan kedua istilah tersebut dengan Ta'dib untuk membuat konsep bagi pendidikan islam, karena kata Ta’dib lebih tepat digunakan dalam konteks pendidikan islam, dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah Tarbiyah dan Ta’lim.[9] dengan alasan bahwa kalau hal itu terjadi, yang terjadi kemudian adalah kesalahan dan kekacauan dalam setiap semantik serta sebagai usaha untuk menempatkan konsep pendidikan Islam pada tempatnya yang haqiqi.
C.    Islamisasi ilmu Pengetahuan Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Sebelum kita menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan. Ada baiknya kita memahami terlebih dahulu arti dari Islamisasi itu sendiri. Islamisasi adalah pengislaman dunia; usaha mengislamkan dunia.[10] Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas Islamisasi adalah pembebasan manusia dari hal-hal yang terkait dengan magis, mitologi, animisme, kebangsaan-tradisi budaya yang bertentangan dengan Islam, dari kendali orang-orang sekuler yang mempengaruhi pikiran dan bahasa. Dengan demikian adanya pembebasan tersebut, maka umat Islam, menjadi manusia terbebas dari kendali magis, mitologi, animisme, kebangsaan-tradisi budaya sendiri yang bertentangan dengan Islam dan paham sekularisme. Ia dibebaskan dari kedua-duanya, baik dari pandangan hidup (Worldview) magis, maupun sekuler. Kita sudah mendefinisikan sifat alami Islamisasi sebagai proses pembebasan. Hal ini dikarenakan bahwa manusia memiliki fisik dan jiwa, dan pembebasan tersebut mengacu kepada jiwanya, dari manusia kepada manusia seutuhnya yang memiliki kesadaran dan signifikasi dalam setiap perbuatan manusia. Islamisasi adalah suatu proses, bukan evolusi sebagai devolusi bagi keaslian alam; manusia dari sisi jiwa adalah sempurna, Namun, ketika diwujudkan secara fisik, ia tunduk kepada kelupaan dan kezaliman dan ketidakadilan bagi dirinya sendiri dan oleh karena itu ia memerlukan kesempurnaan didalam hidupnya.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa Islamisasi berperan dalam membebaskan masalah-masalah umat Muslim, antara lain; Pertama, membebaskan umat Muslim dari kepercayaan terhadap magis dan mitologi, animisme, seperti cerita rakyat, dongeng, legenda yang tidak diketahui kebenarannya. Dimana perkembangannya hanya secara oral-verbal atau dari “mulut ke mulut”. Keberadaan terhadap mitologi ini, tentunya mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia yang masih mempercayainya.
Kedua, Tradisi dan kebudayaan suatu bangsa yang melahirkan sikap fanatik dan keturunan bangsanya sendiri. Baik itu yang mengejewantah dalam bentuk aliran, golongan, atau organisasi keagamaan tertentu. Ini menyebabkan pola pikir umat Muslim menjadi dikotomis dan terpecah-pecah. Sehingga pemahaman terhadap Islam tidak sampai kepada prinsip-prinsip dasar yang membangunnya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga, Membebaskan umat Islam dari rong-rongan paham sekularisme, orang-orang sekular, dan gerakan sekularisasi pemikiran yang secara prinsip dasar menjauhkan antara ilmu dan Tuhan (agama).[11] Dengan adanya kesenjangan antara ilmu dan Tuhan. Maka konsekuensinya adalah adanya kesenjangan antara aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan Tuhan.
Keempat, dengan adanya Islamisasi maka pemahaman terhadap ilmu dan teraplikasinya dengan amal menjadi lebih jelas. Dengan maksud, bahwa jiwa manusia menjadi sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang memiliki jiwa spiritual, bukan makhluk mekanik seperti robot.
Dari keempat poin ini maka Islamisasi ilmu pengetahuan adalah pembebasan umat Muslim dari nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Dalam bahasa Al-Attas, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah Dewesternisasi Ilmu Pengetahuan (Dewesternitation of Knowledge).
Islamisasi Ilmu Pengetahuan pertama kali muncul saat diselenggarakan sebuah komperensi dunia yang pertama di Mekah pada tahun 1977 tentang pendidikan muslim. Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini dilontarkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dengan makalahnya "Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, Islamisasi Ilmu pengetahuan ini berarti mengislamkan atau melakukukan penyucian terhadap ilmu-ilmu pengetahuan produk barat yang selama ini dikembangkan dalam wacana sistem pendidikan Islam agar diperoleh pengetahuan yang bercorak Islam. Sehingga islamisasi ilmu pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-Attas memiliki  kans lebih berhasil yang didasarkan pada alasan:
  1. Posisi Ummat Islam
Posisi ummat islam saat ini, pasca keruntuhan paham sosialis komonis, menjadi satu-satunya paham yang berseberangan dengan paham. Kapitalisme barat dunia dalam posisi yang demikian, maka pandangan-pandangan islam yang murni menjadi sorotan utama bagi para pemikiran internasional
  1. SDM Merupakan Asset Paling Dominant
Dalam berbgai aspek kehidupan, SDM merupakan unsur yang paling vital dalam sebuah perubahan, termasuk islamisasi ilmu. Sehingga SDM yang islami secara inhern akan memiliki pandangan dunia yang islami dan mengamalkan nilai-nilai islam pula.
  1. Disiplin Ilmu Merupakan Benda Mati
Upaya islamisasi ilmu dengan mengarah kepada disiplin itu sendiri pada dasarnya tidak akan mempunyai arti bila tidak berada di tangan orang yang mempunyai padangan dunia dan mengamlkan nilai-nilai islam. Sebab, disiplin ilmu itu sendiri merupakan benda mati yang fungsi dan perananya sangat tergantung pada manusianya.[12]
Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Islamisasi ilmu Pengetahuan ini timbul karena melihat bahwa pemurnian ajaran islam,[13] tentang ilmu pengetahuan pada masa sekarang ini sudah banyak yang dipolakan dengan corak barat sehingga muncullah pendidikan sekuler. Padahal Islam tidak menolak sepenuhnya dengan apa yang diadopsi pendidikan Islam dari barat, seperti metodologinya yang sudah jauh lebih maju dari Islam,. Dan bahaya yang timbul pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam kebodohan tetapi pada pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan pengetahuan barat untuk itu kita tetap harus mengadakan penyaringan terhadap hal-hal dari barat yang bertentangan dengan Islam.
Pendidikan Islam selalu diarahkan kepada pendidikan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu pendidikan yang meninggalkan pembinaan akhlak dan adab. Maka suatu ilmu akan selalu dibarengi oleh amal yang tidak terlepas dari koridor norma-norma adab. Maka sangat jelas bahwa arah pendidikan Islam diorientasikan kepada akhlak sebagai mana yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Sedangkan pendidikan ala barat tidak seperti halnya dengan Islam. memang dalam tataran sains, pola yang mereka terapkan telah membawa kepada perkembangan dan kemajuan yang pesat menuju hasil yang gemilang, namun kegemilangan itu hanya terbatas pada hasil yang bersifat materiil. Di balik itu mereka terperosok ke dalam sebuah krisis moral dan hati, sehingga wujud ilmu bukan lagi sebagai rahmat dan karunia yang memberikan jalan dan kemudahan bagi terwujudnya sebuah kehidupan dunia yang damai dan saling menghargai tetapi malah justru menjadi bumerang dan sumber bencana yang bisa menimbulkan kerusakan dan kehancuran di muka bumi.





















BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
1.      Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu itu berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunanya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren, sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru.
2.      Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut islam) adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu didalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kepada arah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat dalam tatanan wujud tersebut.
3.      Islamisasi berperan dalam membebaskan masalah-masalah umat Muslim, antara lain; Pertama, membebaskan umat Muslim dari kepercayaan terhadap magis dan mitologi, Kedua, Tradisi dan kebudayaan suatu bangsa yang melahirkan sikap fanatik dan keturunan bangsanya sendiri, Ketiga, Membebaskan umat Islam dari rong-rongan paham sekularisme, orang-orang sekular, Keempat, dengan adanya Islamisasi maka pemahaman terhadap ilmu dan teraplikasinya dengan amal menjadi lebih jelas.
B.     Saran
Sebagai calon pendidik selektiflah  dalam mendidik anak didik dalam mengaplikasikan  ilmu pengetahuannya terhadap pendidikan dan  jadikanlah anak didik tersebut  sebagai pembenahan krisis pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, Ciputat, Jakarta: Ciputat, 2002

2.      Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2006

3.      Mardianto, Pesantren Kilat: Konsep, Panduan, dan Pengembangan, Ciputat, Jakarta: 2005

4.      Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005

5.      Imam Bawani, Isa Anshori, Cendikiawan Muslim: Dalam Persepektif Pendidikan Islam, Bina Ilmu, Surabaya: 1991

6.      Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2007

7.      Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Remaja  Rosdakarya, Bandung: 2004

8.      Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001

9.      Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agma di Sekolah, Remaja Rosdakarya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004

10.  Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya:  1994

11.  Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, Penerbit Pustaka, Bandung: 1981

12.  Ramayulis, dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Quantum Teaching, Padang: 2005

13.  Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, Ciputat, Jakarta: 2002






RIWAYAT HIDUP
a                                       Syamsul Arifin dilahirkan di Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II,  SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan perguruan tinggi  ditempuh di STAIN Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam. (085 334 820 495)



[1]   Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, (Jakarta: Ciputat, 2002), hlm. 117-121
[2]   Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 7
[3]   Mardianto, Pesantren Kilat: Konsep, Panduan, dan Pengembangan, (Jakarta: Ciputat, 2005), hlm. 14
[4]   Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29
[5]   Imam Bawani, Isa Anshori, Cendikiawan Muslim: Dalam Persepektif Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), hlm. 71
[6]   Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 69
[7]   Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 46 
[8]   Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 118
[9]   Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agma di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 37
[10] Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Akola, 1994), hlm. 274
[11] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1981), hlm. 43
[12] Ramayulis, dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Padang: Quantum Teaching, 2005), hlm. 130
[13] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, (Jakarta: Ciputat, 2002), hlm. 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search This Blog

Blogroll

Blogger templates