Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 14 Januari 2012

Biografi Inteleqrual K.H Abdur Rahman Wahid Dan Konteks Pemikiranya


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang cendekiawan, Gus Dur merupakan tokoh Muslim yang penuh talenta. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya. Idenya  yang  amat dikenal adalah pribumisasi Islam dalam konteks lokal yang telah lama dikumandangkan oleh sejumlah sarjana Muslim Indonesia.
Gagasan pentingya pribumisasi Islam dalam konteks lokal ini sangat penting dilakukan. Dengan demikian Muslim Indonesia dapat tetap mempertahankan identitas ke-Indonesia-annya yang khas. Tetapi pada saat yang sama dapat mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupannya.
Menjadi seorang Muslim Indonesia tidak harus menjadi Arab. Lebih dari itu, kekhasan potret Islam Indonesia juga bukan mustahil dapat memberikan inspirasi bagi wilayah lain. Juga mengubah imej tentang Islam yang di kalangan Barat sering diasosiasikan dengan keras atau radikalnya Islam di Timur Tengah.
B. Rumusan Masalah                               
  1. Biografi Singkat Gus Dur
  2. Pribumisasi Islam Dalam Konteks Indonesia
  3. Pribumisasi Islam Bukan Berarti Anti Arab














BAB II
PEMBAHASAN

Biografi Inteleqrual K.H Abdur Rahman Wahid
Dan Konteks Pemikiranya

A.    Biografi Singkat Gus Dur
K.H Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Pendidikan dasarnya ditempuh di Jakarta, sedangkan pendidikan menengah pertamanya ditempuh di Yogyakarta Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).
Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.  Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.
Pada Muktamar NU tahun 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Selama masa jabatannya sebagai ketua PBNU antara tahun 1984-1999, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.
Dalam kehidupan pribadinya Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Ia wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
B.     Pribumisasi Islam Dalam Konteks Indonesia
Dalam bukunya,  Islamku, Islam Anda, Islam Kita merupakan wujud komitmen Gus Dur terkait penolakanya terhadap setiap upaya yang mengarah pada Ideologisasi, Formalisasi dan Syari’atisasi Islam di Indonesia. Selain bertolak belakang dengan kondisi masyarakat indonesia yang plural, upaya ideologisasi islam akan mengarah pada upaya politis yang mengarah pada radikalisasi agama dalam kehidupan.
Alasan Penolakan Gus Dur terhadap setiap upaya ideologisasi islam berdasar pada realitas sosial masyarakat Indonesia yang majemuk, Ideologisasi Islam pasti akan mengarah pada subordinasi kepada pemeluk non-islam sebagai Warga negara kelas kedua. Demikian pula sejarah telah mencatat bahwa kejayaan Islam justru teletak pada kemampuanya untuk berakulturasi dengan budaya lokal daripada ekspansi secara poitis dan kekuasaan.
Sebagaiman sering diungkapakan penganut formalisme Islam bahwa Al-Qur’an sudah mencakup segalanya yang mampu menjadi obat mujarab segala permasalahan kehidupan dari permasalahan Negara, Agama sampai problem kehidupan pada umumnya. Ini artinya semua ideology dan hukum yang ada pada dasarnya sudah tercakup dalam Al-Qur’an tinggal mengaktulisasikanya diantaranya dengan membentuk Negara Islam. Rujukan idealnya kehidupan Nabi dan Para sahabatanya dalam mengatur masyarakat. Syari’at sebagai hukum Tuhan harus menjadi penyangga segenap aspek kehidupan dan proses ini dapt terlaksana hanya dengan menformalisasikanya dalam konstitusi Negara islam.
Bagi Gus Dur yang lebih penting untuk dikerjakan umat islam pada masa depanya dalam politik bukan dengan melakukan ideologisasi-formaliassi syariat dalam kehidupan Negara dalam yang plural. Namun bagaimana aktuliasi nilai-nilai Islam dalam aktivitas politk. Dalam kehidupan masyarakat pengembangan islam secara kultural itu tujuanya tidak lain agar ajaran islam sendiri dapat membumi dan kontektual sesuai dengan zaman dan situasi masyarakat. Jika diintepretasikan labih lanjut, konsep pribumisasi islam yang pernah digagas oleh Gus Dur ingin menyatakan bahwa untuk dapat diterima dan dipahami oleh umatnya Islam dituntut untuk mampu berdialektika dengan kebudayaan yang sudah inheren dalam Masyarakat.
C.    Pribumisasi Islam Bukan Berarti Anti Arab
Bergulirnya wacana ini bagi sebagian orang diidentikan dengan "anti Arabisasi" yang menjurus terhadap stigmatisasi segala sesuatu yang berbau arab. Gus Dur sebagai penggagas wacana ini pun pernah mengeluarkan statemen yang sepintas mengamini "anti arabisasi". Beliau berkata bahwa arabisasi atau proses pengidentifikasian diri dengan budaya timur tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan
Nah, kalau ada yang mengartikan pribumisasi Islam seperti ini, sepertinya tidak bisa dibenarkan seratus persen. Karena  Islam itu asalnya dari Arab, maka  warna arab pasti ada di dalamnya, tidak mungkin  semuanya diindonesiakan. Justru malah nanti akibatnya menghilangkan subtansi ajaran Islam itu sendiri. Memang benar kekayaan budaya Indonesia perlu diproteksi agar kita tidak kehilangan jati diri, tapi bukan berarti proteksi tersebut merupakan bentuk penolakan dan antipati terhadap kebudayaan lain yang mencoba diasimilaskan dengan budaya kita. Tentunya sepanjang itu positif dan tidak sampai mencerabut akar budaya kita, maka bisa saja  saja kita adopsi.
Inti tujuan pribumisasi Islam agar ajaran Islam menjadi "familiar" dan bisa diterima masyarakat setempat. Dengan demikian ajaran-ajaran Islam yang bernuansa arab pun kalau bisa diterima dengan baik dan  berasimilasi dengan budaya setempat. Dan tentunya seseorang masih  menjadi Indonesian dengan pakai jilbab ataupun sorban. Malah kalau mau kreatif, jilbab atau sorban penutup kepala tersebut bisa dimodifikasi, biar kental nuansa Indonesianya.
Walhasil pribumisasi Islam harus dapat kita pahami dengan proporsional, agar dapat menjaga tradisi keislaman khas Indonesia tanpa mengurangi substansi dasar ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini nuansa Islam khas pesantren adalah salah satu ikon budaya khas Islam Indonesia. Artinya dengan menjadi santri salaf dengan berbagai atributnya adalah sebentuk pelestarian kita terhadap nuansa Islam khas Indonesia, disamping untuk membuat ajaran Islam lebih akrab bagi masyarakat yang sudah kadung berkultur seperti ini, sudah barang tentu tanpa menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
      Bagi Gus Dur yang lebih penting untuk dikerjakan umat islam pada masa depanya dalam politik bukan dengan melakukan ideologisasi-formaliassi syariat dalam kehidupan Negara dalam yang plural. Namun bagaimana aktuliasi nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.
      Inti tujuan pribumisasi Islam agar ajaran Islam menjadi "familiar" dan bisa diterima masyarakat setempat. Dengan demikian ajaran-ajaran Islam yang bernuansa arab pun kalau bisa diterima dengan baik dan  berasimilasi dengan budaya setempat.
      Pribumisasi Islam harus dapat kita pahami dengan proporsional, agar dapat menjaga tradisi keislaman khas Indonesia tanpa mengurangi substansi dasar ajaran-ajaran Islam.






















DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004.
Ghazali, Hafidz. Pribumisasi Islam. http://hafidz13.wordpress.com
M. Husnaini. Pribumisasi Islam Ala Gus Dur. http://www.nu.or.id.


































RIWAYAT HIDUP
a                                       Syamsul Arifin dilahirkan di Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II,  SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan perguruan tinggi  ditempuh di STAIN Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam. (085 334 820 495)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search This Blog

Blogroll

Blogger templates