BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Diskursus antara tradisional dan modern dalam
pemikiran islam sampai detik ini belum bisa dihapuskan. Karena hal ini
merupakan sebuah kajian yang mempunyai tempat yang cukup strategis dalam kajian
pemikiran pendidikan islam, terutama dalm bidang pendidikan yang di kotomis
antara pendidikan agama dasn pendidikan umum. Di satu sisi ada madrasah yang
mengajarkan pendidikan agama tanpa pendidikan umum, disisi lain lembaga
pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Akibatnya umat islam mengalami
kemunduran yang disebabkan oleh pendidikannya yang masih tradisional.
Paada abad XIX muncul kaum modernis sebagai tokoh
pembaru pendidikan islam dan berupaya menjawab permasalahan umat islam yang
mengalmi kemunduran. Belau
juga berusaha memasukkan pendidikan umum ke dalam kurikulum madrasah, dan
memasukkan pendiidkan agama ke dalam lembaga pendidikan umum. Beliau juga yang
telah berhasl mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern
keseluruh pelosok tanah air melalui orgabisasi Muhammadiyah yang didirikannya
dan hingga kini makin menunjukkan eksistensi secara fungsional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta)
pada tahun 1869 dengan nama Darwises. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar bin Kiai
Sulaiman, yang merupakan seorang khatib dan imam masjid besar di kraton
yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri dari KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.[1]
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai
putera Kiai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis,
mangaji Al-Qur’an dan kitab-kitab agama, yang mana pendidikan ini diperoleh
langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa ia mempelajari dan mendalami ilmu agama
kepada beberapa ulama’ besar. Ketajaman inteleqtualitasnya yang tinggi membuat
Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus
berupaya untuk lebih mendalaminya.
Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru,
pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan
menetap selama setahun. Karena merasa tidak puas dengan kunjungannya yang
pertama, maka pada tahun 1903, beliau berangkat lagi ke Mekkah dan menetap
selama dua tahun.[2] Disana
beliau melakukan mudzakarah dengan sejumlah ulama’ Indonesia yang mukim di Mekkah.
Diantara ulama’ tersebut adalah syekh Muhammad Khatib Al-Minangkabau, Kiai
Nawawi Al-Banteni, Kiai Mas Abdullah, dan Kiai Faqih Kembang.[3]
Dahlan pernah berguru kepada syaikh Jamil Jembek
ulama’ terkenal yang mempunyai reputasi dan berwawasan modern. Cikal bakal
sebagai pemimpin dan selaku tokoh yang menggerakkan pembaruan di kemudian hari
sudah tertanam sejak dini tertancap dalam pribadi Darwis kecil. Namun pada
tanggal 25 Februari 1923, beliau meninggal dunia.[4]
B.
Konsep Pendidikan Ahmad Dahlan
Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat
keprihatinnya terhadap situasi dan kondisi global ummat islam waktu itu yang
tenggelam dalam kejumudan, kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi semakin
diperparah dengan politik kolonial belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia.
Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide
pembaruan Dahlan.
Secara umum, ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasikan
kepada dua dimensi yaitu:
1.
Berupaya memurnikan ajaran islam dari kufarat, tahayul
dan bid’ah yang telah tercampur dalam akidah dan ibadah ummat islam
2.
Mengajak ummat islam untuk keluar dari jaring pemikiran
tradsional melalui reinterpretasi terhadap doktrin islam dalam rumusan dan
menjelaskan yang dapat diterima rasio.[5]
Islam menekankan kepada ummatnya untuk mendayagunakan
semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam
semesta, baik mikro maupun makro. Meskipun dalam Al-Qur’an senantiasa
menekankan pentignya menggunakan akal, akan tetapi Al-Qur’an juga mengakui akan
keterbatasan kemampuan akal. Hal ini disebabkan, karena wujud yang ada di alam
ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan
integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan diatas memberikan arti bahwa dalam
epistimologi pendidikan islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta
didik mendayagunakan bebagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi
inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Menurut Dahlan, pengembangan
tersebut hendaknya merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini
diketengahnya dengan menggariskan perluanya pengkajian ilmu pengetahuan secara
langsung, sesuai prinsip Al-Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab
tertentu.[6]
Dalam hal ini, Dahlan melihat bahwa problem
epistimologi dalam pendidikan islam tradisional disebabkan karena idiologi
ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi religius yang membatasi diri pada
pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya madzhab syafi’i.
Ideologi semacam ini digunakan sebagai pelindung oleh kelompok tradisional guna
mempertahankan semantik statis terhadap epistimologi yang dikembangkannya.
Pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses
pewarisan data sosalisasi perilaku individu maupun sosial yang telah menjadi
model baku
dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk
berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan pelaksanaan
pendidikan berjalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal menurut Dahlan
pengembangan daya kritis, sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang
suci merupakan cara stategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi.[7]
Dari batasan ini terlihat bahwa Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi
reformasi pendidikan modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
Menurut Dahlan pendidikan islam hendaknya diarahkan
pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam
agama, luas pandangan dan paham malasah ilmu kedunian, serta bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya.[8]
Hal ini berarti bahwa pendidikan islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim
sejati yang bertaqwa, baik sebagai ‘abd maupun kholifah fil ardh. Untuk mencapai
hal ini, proses pendidikan islam hendaknya mengakomodasikan berbagai ilmu
pengetahuan, baik umum maupun agama, untuk mempertajam daya inteleqtualitas dan
memperkokoh spritualitas peserta didik.
Materi pendidikan menurut Dahlan adalah pengajaran
Al-Qur’an dan Hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar.
Materi Al-Qur’an dan Hadits meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi
perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran
Al-Qur’an dan Hadits menurut akal, kerja sama antara agama-kebudayaan, hukum
kwalitas perubahan, nafsu dan kehendak, dan akhlak.[9] Sesungguhnya
Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan islam secara modern dan profesional,
sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik
menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan islam perlu membuka diri,
inovatif dan progresif.
C.
Kontribusi Ahmad Dahlan
Gambaran dalam pendidikan, diketahui bahwa dunia
keilmuan di Indonesia secara tradisional dimiliki dan diemban oleh pesantren,
namun secara peleberan atau penugasan ilmu, pesantren lebih mengembangkan misi
ilmu agama ketimbang ilmu umum, pesantren lebih mengembangkan misi ilmu agama
ketimbang ilmu umum, untuk mewujudkan ide pembaharuan di bidang pendidikan, Dahlan
merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan
modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal, yang mana beliau menggabungkan
sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah
madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap
pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum.
Proyek pertama diwujudkan dalam bentuk pendirian sekolah dirumahnya. Di sekolah
ini pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan sendiri, sementara untuk
pelajaran umum di ajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi
guru di sekolah pemerintah.[10]
Pada tanggal 1 Desember 1911, sekolah tersebut diberi
nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dan menjadi sekolah dasar pertama di
Yogyakarta yang memberikan pelajaran agama dan
ilmu pengetahuan umum. Kini lembaga pendidikan Muhammadiyah menjamur ke seluruh
Indonesia dari lembaga pendidikan TK sampai Universitas yang terdapat program
S1, program pasca sarjana, panti asuhan, rumah salaf islam, dan lembaga
keuangan islam.[11]
Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi Muhammadiyah
pada tanggal 18 November 1912 M atau 5 Dhulhijjah 1330 H. tujuan organisasi ini
adalah untuk menyebarkan pengajaran Rasullah kepada penduduk dan memajukan hal
agama kepada anggota-anggotanya untuk mencapai maksud ini, Muhammadiyah
membangun lembaga pendidikan, mengadakan rapat, serta menerbitkan buku surat
kabar dan majalah.[12]
Ahmad Dahlan juga termasuk salah satu tokoh pembaharu
pemikiran islam yang memiliki cita-cita pemurnian islam, yang dibuktikan dengan
pendapatnya bahwa semua praktek keagamaan dalam islam hendaknya tidak boleh
taklid semata-mata, melainkan perlu didasari kepada kesungguhan mengikuti
ajaran islam dan sunnah rasul.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh yang memiliki cita-cita untuk
memadukan bangsa, dengan berdasarkan
pada upaya mewujudkan cita-ciat ajaran islam yang membawa rahmat bagi seluruh
alam. Upaya Ahmad Dahlan untuk mengatasi keterpurukan ummat islam adalah
kembali kepada ajaran islam yang murni sebagaimana yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
Usaha Ahmad Dahlan di bidang pendidikan terlihat pada perangnya
penggabungan ilmu agama dan umum dengan cara mengajarkan ilmu tersebut di
madrasah. Sedangkan dalam bidang dakwah, beliau melakukan dakwah bil hal, yaitu
dakwah yang menekankan pada perbuatan yang menyentuh langsung perbaikan
kehidupan keagamaan.
Sebagai tokoh pembaharu di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial
keagamaan, Ahmad Dahlanmenghadapi hambatan yang sangat besar dari kaum
tradisionalis. Namun berkat kesabaran dan keteguhan dalam menyampaikan ajaran
islam dapat terlaksana. Hal ini terlihat dari meluasnya gerakan dan program
kerjanya ke seluruh Indonesia
melalui organisasi Muhammadiyah yang telah didirikannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
- Nizar, Syamsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, Jakarta: Ciputat, 2002.
- Mulkhan, Abd Munir. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Persepektif Perubahan Sosial. Jakarta: BUmi Aksara, 1990.
- ……………. Paradigma Inteleqtual Muslim, Yogyakarta: Sipress, 1993.
- Ramayulis dan Samsul Mizan. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Ciputat Press Group, 2005.
- Taufik, Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
- Jurnal Ilmiah, Memahami Berfikir Kritis Transformatif, Kutai Timur: STAI Sangaita, 2008.
RIWAYAT
HIDUP
Syamsul Arifin dilahirkan di
Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten
Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra
dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat
yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II, SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA
tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan
perguruan tinggi ditempuh di STAIN
Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan
Agama Islam. (085 334 820 495)
[1] Prof. Dr. H. Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Ciputat Press
Group, 2005), hlm., 202
[2] Ibid, hlm. 203
[3] Abdul Munir Muhkam, Paradigma Inteleqtual
Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm., 37
[4] Dr. H. Syamsul Nizar, MA, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, (Jakarta: Ciputat, 2002),
hlm. 100
[5]
Jurnal Ilmiah, Memahami Berfikir Kritis Transformatif, (Kutai Timur:
STAI Sangaita, 2008), hlm. 84
[6] Prof. Dr. H. Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press Group, 2005), hlm. 202
[7] Abdul Munir Muhkam, Paradigma Inteleqtual
Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 146
[8]
Dr. H. Syamsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan praktis, (Jakarta:
Ciputat, 2002), hlm. 107
[9] Ibid,
hlm. 108
[10]
Prof. Dr. H. Abudin Nata. Md, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 103
[11]
Akhmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 132
[12] Jurnal
Ilmiah, Memahami Berfikir Kritis Transformatif, (Kutai Timur: STAI
Sangaita, ), hlm. 77
[13] Taufik,
Sejarah Pemikiran, hlm. 132-133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar