Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 14 Januari 2012

Upacara di dalam tradisi perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah    
Hubungan cinta kasih wanita dengan pria, setelah melalui proses dan pertimbangan, biasanya dimantapkan dalam sebuah tali perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara  resmi  selaku suami istri dari segi hukum, agama dan adat.  
Perkawinan merupakan kebahagian yang tak terhingga nilainya karena perkawinan pada dasarnya dimulai dengan dua insan yang saling jatuh cinta.Itu merupakan hal yang prinsip. Meski ada juga perkawinan yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi dimasa lalu.
Di dalam upacara dan tradisi perkawinan merupakan hak priomordial antara pengantin laki-laki dan perempuan sehingga terjadi harmonisasi antara sesama makhluk hidup (manusia), tetapi juga bermakna harmonisasi antara kekuatan natural dan suprantural, yang mana tujuan perkawinan adalah agar tidak ada gangguan apapun di dalam kehidupan manusia.
B.     Rumusan Masalah
      Bedasarkan latar belakang masalah diatas dapat kami ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.            Pengertian perkawinan
2.            Upacara dan tradisi perkawinan
3.            Bentuk-bentuk undangan di dalam perkawinan
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejauh mana Pengertian perkawinan
2.            Untuk mengetahui sejauh mana Upacara dan tradisi perkawinan
3.      Untuk mengetahui sejauh mana Bentuk-bentuk undangan di dalam perkawinan







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan
Istilah nikah berasal dari bahasa arab (النكاح), sedangkan menurut istilah bahasa indonesia adalah perkawinan.[1]kebiasaan dalam masyarakat adalah pemisahan arti kata dengan kawin. Nikah dimaksudkan untuk perkawinan pada manusia, sedangkan kawin itu pada binatang. Nikah dilakukan dengan rukun dan syarat ketentuan, sedangkan kawin tidak dengan rukun dan syarat ketentuan. Maksudnya kawin diartikan sebagai melakukan seksual secara ilegal sedangkan nikah diartikan sebagai akad.
Sedangkan pengertian perkawinan secara umum adalah sumbu tempat berputar seluruh hidup kemasyrakatan, dan itulah sebabnya maka tidak sediakan untuk itu suatu bab sendiri. Orang senantiasa menaruh perhatian yang besar sekali terhadap hal-hal perkawinan. Tentu saja terutama menarik perhatian pemuda dan gadis yang tersangkut di dalamnya, tetapi hampir tidak kurang dari orang tua dan kerabat mereka yang jauh, yang kadang-kadang juga telah lama sibuk sebelum anak dara dan menjelang dewasa. Hal yang penghabisan itu dapat demikian melanjut, sehingga pilihan kawin berlangsung di luar para pemuda itu, sendiri, berkenaan dengan itu kerabat mereka telah saling membuat suatu perjanjian dan anak-anak yang meningkat besar mengenai calon-calon istri atau suami mereka diantara anggota-anggota desa yang muda-muda.[2] 
B.     Upacara Perkawinan di dalam Kebudayaan Jawa
Secara teoritik-konsepsional dalam budaya jawa dikenal dengan konsep meminang, yaitu pihak keluaraga laki-laki meminang terhadap perempuan. Dalam pengamatanya, Clifford Geertz[3] menyatakan:
Bagi kebanyakan orang, walaupun di dalam banyak kasus anak laki-laki dan perempuan itu sudah sampai pada saling tahap pengertian dalam hal ini, pola lama mengenai lamaran resmi dari orang tua pihak pria masih dilaksanakan, setidak-tidaknya dalam bentuk resminya. Dalam lamaran itu, keluarga pihak laki-laki mengunjungi keluarga pihak perempuan untuk saling tukar basa-basi formalisme kosong yang diperkorek, dan sudah menjadi keahlian orang jawa sejak dahulu. Ayah pihak laki-laki mungkin membuka percakapan itu dengan ucapan seperti “embun di pagi hari berart hujan di malam hari, “yang menyatakan bahwa soal yang ingin diperbincangkan ialah soal yang “dingin” atau sederhana saja dan tidak perlu membangkitkan perasaan yang bukan-bukan. Dengan perkataan dan gaya pemisalan yang sama, ia tiba pada pokok persoalan dan menyatakan bahwa ia ingin mejadi besan tuan rumah dengan mengawinkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan rumah, (kemudian tuan menjawab) seperti bahwa anak perempuannya itu agak manja, walaupun sudah dewasa, masih bertingkah laku seperti anak-anak dan ia sendiri merasa bahwa puterinya jauh dari memenuhi syarat menjadi menantu tamunya, dan seterusnya. 
Berdasarkan tradisi jawa, sebagaimana uraian Clifford Geertz tersebut, ternyata perkawinan selalu didasarkan atas kesepakatan awal yang disebut sebagai meminang atau lamaran, dimana pihak keluarga laki-laki meminang kepada pihak keluarga perempuan. Meskipun kegiatan ini penuh basa-basi tentunya memegang peran penting sebab kesepakatan melakukan ikatan besanan ditetukan oleh proses awal awal ini.[4]
Menurut Hildred Geertz,[5] pola peminangan secara formal yang benar menurut kejawen adalah terdiri atas tiga tahap. (1). Semacam perundingan penjajakan yang dilakukan seorang teman atau saudara si pemuda. (2). Kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau sanak saudaranya yang lain. (3). Pinangan resmi untuk menentukan kapan hari perkawinan dilangsungkan. 
Sebenarnya upacara perkawinan melambangkan persatuan antara suami dan istri/mempelai laki-laki dan perempuan, makan nasi dari piring yang sama, bersama-sama menguyah kapursirih yang sama atau bersama-sama mengisap rokok yang sama. Artinya untuk menumbuhkan cinta kasih di dalam perkawinan tersebut.   
C.    Tradisi Perkawinan di dalam Kebudayaan Jawa
Hubungan cinta kasih wanita dengan pria, setelah melalui proses dan pertimbangan, biasanya dimantapkan dalam sebuah tali perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara  resmi  selaku suami istri dari segi hukum, agama dan adat. Biasanya perkawinan terjadi karena  adanya hubungan dua insan yang saling jatuh cinta.Itu merupakan hal yang prinsip. Meski ada juga perkawinan yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi dimasa lalu. Sementara orang-orang tua zaman dulu berkilah melalui pepatah mengatakan: Cinta tumbuh karena terbiasa.
Biasanya setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui perkawinan, maka dilakukan langkah-langkah selanjutnya, menurut tradisi perkawinan di dalam kebudayaan jawa sebagai berikut:
1.      Peminangan
Biasanya yang melamar adalah pihak calon penganten pria.Pada masa lalu, orang tua calon penganten pria mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk meminang. Tetapi kini, untuk praktisnya orang tua pihak lelaki bisa langsung meminang kepada orang tua pihak wanita . Bila sudah diterima, langsung akan dibicarakan langkah-langkah selanjutnya sampai terjadinya upacara perkawinan.
2.      Temu Penganten
Secara tradisional upacara Temu Penganten dilaksanakan dirumah orang tua penganten putri, pada saat yang telah ditentukan, penganten pria diantar oleh saudara-saudaranya dan kedua orang tuanya dalam acara temu pengantin ini, ketika tiba didepan rumah pengantin putri, maka pengantin putri menanti didalam rumahnya. Setelah itu, dibacakan shalawat dan penganten pria duduk di musholla terus dikawinkan oleh penghulu (akad nikah), terus yang penganten pria masuk ke kamar perempuan. Sedangkan sebagai tanda penghormatan untuk pnyelenggaraan upacara perkawinan dapat berupa sebuah pisang yang dibungkus rapi dengan daun pisang dan ditaruh diatas nampan.
3.      Slamatan
Slamatan adalah inti kehidupan orang jawa, slamatan adalah wujud dari tidak hanya harmonisasi antara sesama makhluk hidup (manusia), tetapi juga bermakna harmonisasi antara kekuatan natural dan suprantural, yang mana tujuan slamatan adalah agar tidak ada gangguan apapun di dalam kehidupan manusia.[6]
Slamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam, sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni, (1). Slamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, misalnya: mendapatkan berkah dari sang maha pencipta. (2). Slamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen. (3). Slamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar islam. (4). Slamatan pada saat tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menanti rumah baru, menolak bahaya, bernadzar kalau sembuh dari penyakit.[7]
4.      Walimatul 'Ursy
Yang dimaksud dengan walimatul 'ursy adalah makanan yang disediakan, dalam pesta atau makanan yang disediakan untuk para undangan.[8] Pada umumnya pelaksanaan walimah bersamaan dengan akad nikah, namun ada juga yang melaksanakannya sesudah akad dilaksanakan. Hal tersebut bergantung pada adat kebiasaan yang berlaku di suatu tempat pada suatu masa tertentu.
D.    Bentuk-bentuk Undangan di Dalam  Perkawinan
  1. Keragaman tampilan kartu undangan perkawinan di Jawa  pada tahun 2010 yaitu:
a.       lembaran tunggal,
b.      lembaran ganda,
c.       lipatan,
d.      buku,
e.       kalender duduk, dan
f.       tempat foto.
  1. Mengenai aspek visual pada kartu undangan perkawinan dapat digambarkan berikut ini.
a.       Bentuk-bentuk kartu undangan yaitu persegi mendatar, persegi tegak, dan bujur sangkar,
b.      Ukuran kartu undangan dalam fenomenanya cukup bervariasi, mulai dari ukuran paling kecil, sedang dan besar. Kecenderungan yang paling banyak dibuat yaitu berukuran sedang baik yang berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang.
c.       Warna kertas undangan sebagian besar cenderung menggunakan warna kuning atau bernuasa kuning keemasan polos, bermotif lembut atau mengkilat dan sebagian kecil lainnya menggunakan kertas warna biru, hijau, merah, pink, abu-abu, putih, coklat, dan hitam. Warna tulisan ada kecenderungan menyesuaikan dengan warna kertas yang digunakan, dengan kombinasi harmonis.
d.      Keragaman warna tulisan yaitu abu-abu kehitaman, biru tua, biru nuansa ungu, coklat tua, coklat kemerahan, hijau tua, hitam, merah muda, merah tua, oranye, putih, ungu tua, kuning tua, kuning warna emas.
e.       Tulisan (teks) pada undangan yaitu: kata undangan, salam, ucapan puji syukur, mohon doa restu, maksud mengundang pada pernikahan putra-putri pengundang, hari, tanggal, tahun, tempat acara pernikahan, mohon kehadiran dan berkenan memberikan doa restu, ucapan terima kasih, nama pasangan pengantin, nama orang tua, pelaksanaan akad nikah, doa rosululloh, doa cinta sang pengantin, surat ar-rum 21 bagi keluarga muslim, nama dan alamat pengundang dan yang diundang.
Dari kesemuan bentuk-bentuk pelaksanaan perkawinan tersebut di atas pasti ada sisi metodologi, ada titik penekanan dari kajian tentang kebudayaan yang bercorak sistemik. Artinya, keterkaitan antara subsistem satu dengan yang lainnya sangat kuat. Atau dengan kata lain peneliti harus mengeksplorasi ciri sistemik kebudayaan. Jadi, harus diketahui bagaiama pertalian antara struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat.[9]











































BAB III
PENUTUP

            Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
A.    Kesimpulan
  1. Perkawinan adalah sumbu tempat berputar seluruh hidup kemasyrakatan, dan itulah sebabnya maka tidak sediakan untuk itu suatu bab sendiri. Orang senantiasa menaruh perhatian yang besar sekali terhadap hal-hal perkawinan. Tentu saja terutama menarik perhatian pemuda dan gadis yang tersangkut di dalamnya, tetapi hampir tidak kurang dari orang tua dan kerabat mereka yang jauh, yang kadang-kadang juga telah lama sibuk sebelum anak dara dan menjelang dewasa.
2.      Upacara di dalam perkawinan dalam bentuk meminang dan lamaran Sedangkan tradisi perkawinan dalam bentuk peminangan, temu penganten dan slamatan
  1. Keragaman tampilan kartu undangan dan visual pada kartu undangan perkawinan.
B.     Saran
Jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini baik di sengaja ataupun tidak kami mohon kritikan serta saranya yang niatnya untuk memperbaiki makalah saya kedepannya.

















DAFTAR PUSTAKA


1.      H. TH. Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, ………: PT. Pembangunan, 1980

2.      Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981

3.      Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, Surabya: IAIN Sunan Ampel Press, 2006

4.      Hildred Geertz, Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1981

5.      Kodiran, Kebudayaan Jawa: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Jambatan, 1975

6.      David Kaplan, Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

7.      Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992

8.     Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqih Wanita………….


























RIWAYAT HIDUP
a                                       Syamsul Arifin dilahirkan di Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II,  SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan perguruan tinggi  ditempuh di STAIN Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam. (085 334 820 495)




1 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 188
[2]   H. TH. Fischer, Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, (           : PT. Pembangunan, 1980), hlm. 89k
[3]   Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 69
[4]   Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, (Surabya: IAIN Sunan Ampel Press, 2006), hlm. 145
[5]   Hildred Geertz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1981), hlm. 65
[6]   Kodiran, Kebudayaan Jawa: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan, 1975), hlm. 340
[7] Ibid, hlm. 341
[8] Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqih Wanita, hlm. 382
[9]   David Kaplan, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search This Blog

Blogroll

Blogger templates