Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 14 Januari 2012

Biografi Nasr Hamid Abu Zayd dan konteks Pemikiranya


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Nasr Hamid Abu Zayd dan Riwayat Hidupnya
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Desa Qahafah, Tanta, Mesir pada tanggal 19 Juli 1943, mulai dikenal luas kalangan akademisi dan cendikiawan muslim sekitar sepuluh tahun terakhir. Di usia delapan tahun Nasr Hamid Abu Zeid telah hafal Al-qur’an (30 Juz). Diluar pendidikan formalnya ia menulis kitab Mafhumun Nash (Membaca kembali teks) ia menempuh pendidikan SD dikampung halamanya (1951). Setamat dari pendidikan SD ia melanjutkan ke sekolah menengah umum yakni Al-Azhar, namun melihat keinginan yang kuat sang ayah menginginkan anaknya sekolah di kejuruan, guru besar Islamic Studies di Leiden University, dengan masuk sekolah teknologi di distrik Kafru Zayyad, Provinsi Gharbiyah. Setelah itu ia menyelesaikan studi menegahnya, dengan meraih ijazah diploma ( setingkat SMU ) untuk beberapa waktu ia bekerja di  sebuah perusahaan kabel (1961-1968) setelah lulus dari Diplomanya.
Pada  tahun 1968 Nasr Hamid Abu Zayd melanjutkan ke fakultas Adab, Universitas Kairo. Intensitasnya persentuhanya dengan dunia keilmuan semakin mengkristal dan kuat. Dia tamat di perguruan  bergensi ini pada tahun 1972 dengan nilai memuaskan pada masa (S1). Tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Nasr Hamid Abu Zayd melanjutkan Pasca Sarjana (S2) di universitas yang sama. Di jenjang ini dia menulis tesis berjudul Qadhiyat Al-Majaz fi Al-qur’an Inda Mu’tazilah, pada tahun 1976, juga dengan nilai memuaskan. Pada tahun 1981, dia berhasil meraih gelar doctor dari Universiatas Kairo. Nasr Hamid Abu Zayd mengajukan risalah disertai dengan judul Ta’wilu Al-qur’an Inda muhyiddin Al-Araby, dengan nilai memuaskan dengan penghargaan tingkat pertama. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989).
Dari hasil ini, inteleqtual yang di usia mudanya sempat bergabung dengan organisasi Ikhwan Al-muslimin (IM) ini, memutuskan Almamaternya dengan menjadi Asisten dosen, dan lalu dosen tetap bidang adab dan filsafat, sebelum “hijrah” dan menetap di Belanda Hingga kini.  
Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain:
  1. Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu'tazilah (al-Ittijah al-'Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah, Beirut 1982).
  2. Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn 'Arabi' (Falsafat at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an 'inda Muhyiddin ibn 'Arabi, Beirut, 1983).
  3. Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Kairo, 1987).
  4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aliyyat at-Ta'wil, Kairo, 1992).
  5. Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992).
  6. Imam Syafi'i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang.
         













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Nasr Hamid Abu Zayd dan Pemikiranya
            Gagasan paling menonjol dari pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd adalah ketika dia melontarkan pernyataan bahwa Al-qur’an pada hakikatnya adalah produck dari peradaban teks, dalam karyanya Mafhumun Nash. Dengan pendekatan Hemeunetika, Nasr Hamid Abu Zayd menilai, sebagai produck cultural atau biasa disebut “Al-qur’an sebanding dengan hasil peradaban manusia yang dapat berubah dan ditafsiri secara kontektual mungkin sejalan dengan arus perkembangan zaman” karena Al-qur’an ketika diwahyukan dalam konteks masyarakat arab jahiliah kala itu, kata Nasr Hamid Abu Zayd, maka interpretasi dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai Al-qur’an, maka ummat islam sekarang ini harus menginterpretaskan menyusun kembali kitab suci itu secara cerdas, dan sesuai dengan semangat zaman kini.
            Kemunduran ummat islam sekarang disebabkan oleh pemahaman mereka yang terlalu tekstual terhadap Al-qur’an. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat, penurunan Al-qur’an tidak terlepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat ketika itu, sehingga “memperlakukan”-nya pada saat ini pun tak bisa seperti di masa lalu. Dia menyayangkan, beberapa kalangan ulama yang telah membakukan sedemikian rupa nash Al-qur’an, sehingga misi ajaranya kurang mengena dan mengikuti semangat zaman. Bahkan sebagian ulama telah mendikotomikanya dengan realitas sosial, sehingga ketika umat islam berhadapan dengan nash, seakan-akan ada tembok pemisah antara teks yang suci disatu sisi. Dan ummat islam itu sendiri sebagai objek. Untuk mengakhiri problem ini. Dia menawarkan gagasan, ummat islam harus mampu dan berani menginterpretasikan islam (Al-qur’an dan Al-Sunnah) secara cerdas, dengan mempertimbangkan aspek sosial zamanya. Bukan pada metode klasik, yang hanya memfokuskan pada aspek sosio-kultur ketika Al-qur’an diturunkan.
            Meski Nasr Hamid Abu Zeid berpendapat Al-qur’an dibentuk oleh budaya Arab, itu tidak berarti dia tidak menyakini kitab suci tersebut  sebagai ciptaan dan firman Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw. Sekalipun Al-qur’an merupakan firman Allah. Kitab suci ini menggunakan bahasa manusia (bahasa Arab) diwahyukan kepada manusia  (nabi Muhammad) untuk kemudian disampaikan kepada seluruh ummat manusia untuk kepentingan mereka. Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd ini sebenarnya tidak jauh dengan tesis kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa, Alquran adalah firman Allah yang merupakan produck dari sifat tuhan. Yang “Berbicara” salah satu sifatnya adalah Fi’liyyah sementara itu pandangan dan paham Mu’tazillah, secara umum, memang kurang mendapat tempat di dunia islam. Hal itu disebabkan oleh dominasinya pemikiran Hambaliyah/Asy’riyah, yang diklaim sebagai pemikiran paling benar. Karena sudah dicap sesat atau kafir. Kondisi inilah yang antara lain yang sangat disesalkan oleh Nasr Hamid Abu Zayd dan kalangan inteleqtual lainya. Ummat islam, menurut Nasr Hamid Abu Zayd harus mengakhiri semua pandangan itu jika ingin maju dan mampu bersaing ditengah persaingan global kini. Karena itu, gerakan kembali kepada Al-qur’an harus menjadi prioritas agenda ummat islam sekarang.  
B.     Pandangan  Abu Zayd Terhadap Al-Qur’an
Dalam pandangan abu zayd terhadap Al-Qur’an hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah. maka sebagai suatu yang sudah menjelaskan dan terealisasi dalam dunia yang temporal terbatas, Al-Qur,an juga bersifat temporal histories  dan harus dipahami dengan pendekatan histories. Abu Zayd juga memandang Al-Qur’an sebatas teks linguistic yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahasa arab yang dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya.
 Dengan demikian pemaknaannya selalu tunduk pada latar belakang zaman, ruang histories dan latar sosialnya. Di samping itu, dia juga menganggap Al-Qur’an bukan lagi teks tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang samar (nisbi) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relative.
Dengan begitu dia memisahkan Al-Qur’an secara total antara lafadz dan maknanya. Yang mutlak dan sakral adalah Al-Qur’an yang mentah di alam metafisika (Lawh mahfuzh), yang tidak pernah diketahui sedikitpun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu Al-Qur’an tersebut dipahami dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Sejak turun, dibaca dan dipahami oleh nabi, Al-Qur’an telah bergeser kedudukannya dari teks tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan Al-Qur’an telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi. Kemudian Nasr Hamid Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang meyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang mutlak (Tuhan) dan yang samar (nisbi) dan menyamakan antara maksud tuhan dan pemahaman manusia. Dikarenakan Al-Qur’an sudah tidak lagi mutlak dan telah berubah menjadi makna yang relative, maka bagi kalangan liberal Islam atau yang dikenal dengan sebutan Jaringan Islam Liberal (JIL), hermenutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi teks. Dikatakan problem, mengingat sejak awal diwahyukannya, Al-Qur’an dirasa sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem tersebut semakin rumit manakala Rasulullh wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yang menggantikannya. Oleh sebab itu penggunan hermeneutika dalam studi Al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan pada saat ini, hermeneutika Al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Abu Zayd juga memandang Al-Qur’an secara dikhotomis yang memiliki dua dimensi: dimensi histories (nisbi) dan dimensi ketuhanan (mutlak), Abu Zayd mempertanyakan : apakah setiap yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaan ini dijawab dengan menganalogikannya pada bible dalam pandangan Kristen, tulisnya:  “ According to christian doctrine, not everthing that jesus said was said as the son of god. sometimes jesus behaved just as a man”. Pada akhirnya pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan  kekuasaan teks-teks agama (Al-Qur’an dan Hadits) karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir. Ringkasnya pandangan Abu Zayd tentang Al-Qur’an kenisbian tafsir dan pemikiran keagamaan dapat di rangkum secara runtut sebagai berikut:
  1. Memberikan definisi dikhotomis antara agama dan pemikiran keagaman yang berbeda total antara satu dengan yang lainnya sebagai pintu masuk.
  2. Meragukan satu persatu kedudukan agama dan pemikiran keagamaan yang didenifisikan secara dikhotomis. Agama yang dimaknai sekedar kumpulan teks suci, kemudian direlatifkan eksistesi kemutlakannya. Teks yang mutlak dan suci dalam hal ini adalah Al-Qur’an, hanyalah yang berbeda di law mahfuzh. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh sesorang muslimpun. Sehingga pada akhirnya hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan Al-Qur’an.
  3. Mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau.
  4. Mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah "tradisi reaksioner" serta mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam.
  5. Mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos dan islam adalah agama Arab, karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
  6. Mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy serta patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan
Setelah meragukan eksistensi Al-Qur’an atau keberadaan agama itu sendiri sebagai kitab yang mutlak dan suci, kemudian Abu Zayd mengebiri fungsi dan peranannya sebagai solusi akhir bagi manusia. Sebab teks-teks yang dipandang suci dan mutlak tersebut pada hakekatnya adalah teks atau agama sejarah yang muncul pada suatu bangsa pada suatu waktu dan identik dengan budaya bangsa tersebut pada saat itu. Sehingga sebagai agama atau teks sejarah, ia akan terus berkembang sesuai dengan tempat dan zamannya, relative dan tidak bisa diklaim sebagai aturan yang mutlak dan tetap. Merombak dan menolak pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis dengan agama dalam poin pertama, sehingga pada akhirnya baik agama maupun pemikiran keagamaan sama-sama ditolak, direduksi dan didekontruksi (dirombak).
Penolakan Nasr Hamid Abu Zayd terhadap pemikiran keagamaan ini ternyata berdasarkan adanya suatu dogma dan ideologi terhadap pemikiran keagamaan. Indikasi dogma dan ideologi yang mewarnai pemikiran keagamaan adalah selalu menjadikan Allah sebagai hakim dalam memahami teks dan menelantarkan posisi manusia sebagai makhluk yang histories dalam membaca teks menurut ruang dan waktu ia berada. Maka Nasr Hamid Abu Zayd pun terjebak dengan ideologi lainnya yaitu mengutamakan manusia sebagai pembaca teks dann melantarkan Allah SWT sebagai sang pemilik dalam memakai sebuah teks. Terakhir  kita harus menggunakan akal dan wahyu secara seimbang, tetapi yang perlu didahulukan adalah wahyu karena wahyu turunya dari atas ke bawah sedangkan akal dari bawah keatas.
























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
      Dari Pembahasan diatas dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut:
Ø  Nasr Hamid Abu Zeid melontarkan pernyataan bahwa Al-qur’an pada hakikatnya adalah produck dari peradaban teks, dalam karyanya Mafhumun Nash. Dengan pendekatan Hemeunetikanya.
Ø  Nasr Hamid Abu Zeid menyatakan bahwa penurunan Al-qur’an tidak terlepas dari kondisi sosio-kultural masyarakat ketika itu, sehingga “memperlakukan”-nya pada saat ini pun tak bisa seperti di masa lalu.
Ø  Mu’tazilah yang berpendapat bahwa, Alquran adalah firman Allah yang merupakan produck dari sifat tuhan. Yang “Berbicara” salah satu sifatnya adalah Fi’liyyah.
Ø  Nasr Hamid Abu Zeid beranggapan bahwa Al-Qur’an bukan lagi teks tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang samar (nisbi) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relative.
Ø  Teks yang mutlak dan suci dalam hal ini adalah Al-Qur’an, hanyalah yang berbeda di law mahfuzh. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh sesorang muslimpun. Sehingga pada akhirnya hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan Al-Qur’an.
Saran
Kita sebagai Mahasiswa harus berfikir secara rasional dalam menghadapi segala sesuatu terutama dalam berfikir, karena apabila kita berfikir secara rasional berarti kita bisa mengetahui kemampuan yang ada dalam diri kita sebagaimana mestinya seorang mahasiswa.





DAFTAR PUSTAKA

Ø  Ichwan, Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid. Teraju, Bandung: 2003.

Ø  Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2005.

Ø  Pannen, Paulina, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Dirjen Dikti Depdiknas, Jakarta: 2001.

Ø  Rooijakkers, Mengajar dengan Sukses: Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran Study Al-qur’an,  Gramedia, Jakarta: 2003.

Ø  Shohibuddin, M., Hermeneutika al-Qur’an Mazhab, Islamika, Yogyakarta: 2003.

Ø  Sunarwoto, Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an, Islamika. Yogyakarta: 2003.

Ø  Zaeni, Hisyam,  Pembelajaran Aktif di Perguruan Tingi Terhadap kritis Al-qur’an, CTSD, Yogyakarta: 2003.























RIWAYAT HIDUP
a                                       Syamsul Arifin dilahirkan di Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II,  SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan perguruan tinggi  ditempuh di STAIN Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam. (085 334 820 495)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search This Blog

Blogroll

Blogger templates