Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 14 Januari 2012

Rendahnya Mahar Wanita di Madura


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah     
Jika kita lihat dari realitas yang ada bahwa masyarakat madura khususnya bagi wanita sering kali mahar yang diberikan suami sangat rendah dan tidak sesuai dengan apa yang diisyaratkan dalam hukum islam, padahal mahar adalah salah satu diantara hak istri yang didasarkan atas kitabullah, sunnah rasul dan ijma’ kaum muslimin. Membayar mahar adalah kewajiban dari seseorang suami, di dalam sebuah perkawinan harus ada mahar, dan kalau tidak ada maharya maka dari itu adalah atau bisa dikatakan batal.
Mahar adalah salah satu bentuk penghargaan seorang suami kepada istrinya dimana pada saat itu kaum wanita wajib menerima mahar dari seorang laki-laki yaitu adalah suaminya.
B.     Rumusan Masalah
      Bedasarkan latar belakang masalah diatas dapat kami ambil rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Pengertian tradisi dan rendahnya mahar wanita
  2. Macam-macam mahar
  3. Faktor yang menyebabkan mahar wanita madura rendah
C.    Tujuan Penulisan
  1. Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui secara mendalam tentang tradisi mahar wanita
  2. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui secara mendalam tentang macam-macam mahar
  3. Sebagai bentuk kesadaran bahwa kita harus menyadari bahwa wanita khususnya madura maharnya sangat rendah









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tradisi Rendahnya Mahar Wanita
Tradisi adalah kebiasaan yang turun menurun dalam sebuah masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat yang sifatnya luas meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dengan rincian yang tetap dan pasti. Tradisi merupakan alat yang hidup untuk melayani manusia dan dapat membantu memperlancar pertumbuhan dan pribadi masyarakat.[1] Jadi tradisi dapat terwujud dengan kesepakatan sebagian terbesarnya dimana keinginan beberapa orang tidak merusak terjadinya adat.
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Mahar adalah yang berharga yang merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri yang dikenakan dengan adanya suatu akad pernikahan baik itu mahar itu di tunaikan seketika akad pernikahan ataupun di hutang oleh suami yang menjadi kesepakatan dari pihak istri.[2]
B.     Macam-macam Mahar
Mahar adalah salah satu diantara hak istri yang didasarkan atas khabullah dan sunnah rasul mahar ada dua macam yaitu:
1.      Mahar Musamma’ adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad.[3] Maksudnya adalah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati oleh kedua belah pihak atau yang sudah disebut kadar besanya ketika akad nikah. 
2.      Mahar Mitsil adalah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan atau diterima oleh perempuan yang sama dengan perempuan lainnya, namun dibayar secara pantas sesuai dengan kedudukan dan kemampuan suami.[4]
Jadi disitu sudah jelas bahwa dari kedua macam mahar tersebut yang diantaranya mahar musamma’ dan mahar mitsil sudah dijelaskan bahwa besarnya mahar yang akan diberikan kepada calon istri harus ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan mahar tersebut harus diterima oleh mempelai wanita yang dibayar secara pantas disesuaikan dengan kedudukan dan kemampuan dari seorang suami.  
C.    Faktor-faktor yang Menyebabkan Mahar Wanita Madura Rendah
Terjadinya kasus seperti itu karena pihak si wanita merasa kasihan terhadap calon suami disebabkan ketidakmampuan pihak atau kelurga calon suami adanya anggapan miring ketika meminta mahar terlalu tinggi dan ketidaktauan calon istri tentang mas kawin disebabkan karena kekurangan kedewasaanya.
Sikap wanita madura. Mereka mengukur mas kawin itu dengan rendahnya dan tingginya seseorang, hal ini dibuktikan dengan mengatakan rendahnya mahar berarti kurang begitu dihargai, merendahkan bahkan meremehkan seorang wanita. Dan itu terbukti yang terjadi di masyarakat dimana seorang suami selalu monopoli istrinya. Ada yang menggangap bahwa mas kawin adalah sebuah penghargaan atau hadiah bagi si wanita, jadi apapun bentuknya dan berapapun banyaknya, sekalipun mas kawin itu rendah, yang penting patut dan bermanfaat dijadikan mas kawin itu tidak masalah.
Jika dikaitkan dalam persepektif hukum islam tentang rendahnya mahar wanita, mas kawin atau mahar merupakan salah satu syarat rukunya pernikahan. Dalam hukum islam mahar atau mas kawin itu tidak ditentukan batas-batas minimal maupun masksimal jadi yang terjadi di masyarakat sekarang tentang rendahnya mahar itu sesuai dengan hukum islam. Dalam sebuah ikatan pernikahan salah satu kewajiban dari suami terhadap istri adalah memberikan mas kawin yakni pemberian yang wajib dari calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[5] 
Rendahnya mahar dalam persepektif islam, islam tidak menerapkan jumlah besar atau kecilnya mahar karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya riski, selain itu kesiapan masyarakat mempunyai data dan istiadatnya sendiri karena itu islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masig-masing  orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimasukkan kecewa untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut tanpa melihat besarnya jumlah.
Rasullah Saw adalah teladan yang baik dan beliau telah memberikan kepada ummatnya contohnya amat mulia dalam hal ini, hingga melekat kuat dalam kehidupan masyarakat dan menjadikan kaidah dasar pada semua problema kehidupan yaitu kaidah dasar pada semua problema kehidupan manusia yaitu kaidah memudahkan dan meringankan.[6]































BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tradisi adalah kebiasaan yang turun menurun dalam sebuah masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dalam kehidupan sehingga kebiasaan tersebut merupakan faktor dari adanya sistem perubahan, sedangkan mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam sebuah pernikahan
Dari macam-macam mahar yang  telah disebutkan bahwasannya mahar itu terdiri dari dua macam yaitu mahar musamma dimana disitu dijelaskan bahwa mahar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Terus yang kedua adalah mahar mistil disitu dijelaskan bahwa mahar mistil adalah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan namun disini harus dibayar secara pantas sesuai dengan kedudukan dan kemampuan suami.
Faktor yang menyebabkan mahar wanita rendah itu karena disebabkan oleh ketidakmampuan pihak atau kelurga yaitu calon suami dalam artian pihak suami tidak mampu membayar mahar yang mahal, kaitannya dalam persepektif islam tentang rendahnya mahar wanita dalam hukum islam itu tidak ditentukan batasan-batasan minimal maupun maksimalnya.
B.     Saran
Jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini baik di sengaja ataupun tidak kami mohon kritikan serta saranya yang niatnya untuk memperbaiki makalah saya kedepannya.












DAFTAR PUSTAKA

Ø  WS. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia, 1994

Ø  Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1945

Ø  Anshori Umar Shanggal, Fiqh Syafi’I Sistematis, Semarang: CV. Cisy. Syifa, 1994

Ø  Slamet Abidin dkk, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Ø  Mohammad Jawad Moaniyah, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: PT. Tentera Baristama,1996

Ø  Sayyid Sabiq, Fighus Sunnah
































RIWAYAT HIDUP
a                                       Syamsul Arifin dilahirkan di Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II,  SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan perguruan tinggi  ditempuh di STAIN Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam. (085 334 820 495)




[1] WS. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 4
[2] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1945), hlm. 222
[3] Anshori Umar Shanggal, Fiqh Syafi’I Sistematis, (Semarang: CV. Cisy. Syifa, 1994), hlm. 288
[4] Slamet Abidin dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 105
[5] Mohammad Jawad Moaniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Tentera Baristama,1996), hlm. 364
[6] Sayyid Sabiq, Fighus Sunnah, hlm. 69

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search This Blog

Blogroll

Blogger templates