BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Jika kita lihat dari realitas yang ada bahwa
masyarakat madura khususnya bagi wanita sering kali mahar yang diberikan suami
sangat rendah dan tidak sesuai dengan apa yang diisyaratkan dalam hukum islam,
padahal mahar adalah salah satu diantara hak istri yang didasarkan atas
kitabullah, sunnah rasul dan ijma’ kaum muslimin. Membayar mahar adalah
kewajiban dari seseorang suami, di dalam sebuah perkawinan harus ada mahar, dan
kalau tidak ada maharya maka dari itu adalah atau bisa dikatakan batal.
Mahar adalah salah satu bentuk penghargaan seorang
suami kepada istrinya dimana pada saat itu kaum wanita wajib menerima mahar
dari seorang laki-laki yaitu adalah suaminya.
B.
Rumusan Masalah
Bedasarkan
latar belakang masalah diatas dapat kami ambil rumusan masalah sebagai berikut:
- Pengertian tradisi dan rendahnya mahar wanita
- Macam-macam mahar
- Faktor yang menyebabkan mahar wanita madura rendah
C.
Tujuan Penulisan
- Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui secara mendalam tentang tradisi mahar wanita
- Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui secara mendalam tentang macam-macam mahar
- Sebagai bentuk kesadaran bahwa kita harus menyadari bahwa wanita khususnya madura maharnya sangat rendah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tradisi Rendahnya Mahar Wanita
Tradisi adalah kebiasaan yang turun menurun dalam
sebuah masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat yang
sifatnya luas meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan
dengan rincian yang tetap dan pasti. Tradisi merupakan alat yang hidup untuk
melayani manusia dan dapat membantu memperlancar pertumbuhan dan pribadi
masyarakat.[1] Jadi
tradisi dapat terwujud dengan kesepakatan sebagian terbesarnya dimana keinginan
beberapa orang tidak merusak terjadinya adat.
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita, baik berbentuk barang uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum islam. Mahar adalah yang berharga yang merupakan
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri yang dikenakan dengan
adanya suatu akad pernikahan baik itu mahar itu di tunaikan seketika akad
pernikahan ataupun di hutang oleh suami yang menjadi kesepakatan dari pihak
istri.[2]
B.
Macam-macam Mahar
Mahar adalah salah satu diantara hak istri yang
didasarkan atas khabullah dan sunnah rasul mahar ada dua macam yaitu:
1.
Mahar Musamma’ adalah mahar yang disepakati oleh pengantin
laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad.[3]
Maksudnya adalah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati oleh kedua
belah pihak atau yang sudah disebut kadar besanya ketika akad nikah.
2.
Mahar Mitsil adalah mahar yang seharusnya diberikan
kepada perempuan atau diterima oleh perempuan yang sama dengan perempuan
lainnya, namun dibayar secara pantas sesuai dengan kedudukan dan kemampuan
suami.[4]
Jadi disitu sudah jelas bahwa dari kedua macam mahar
tersebut yang diantaranya mahar musamma’ dan mahar mitsil sudah dijelaskan
bahwa besarnya mahar yang akan diberikan kepada calon istri harus ada
kesepakatan dari kedua belah pihak dan mahar tersebut harus diterima oleh
mempelai wanita yang dibayar secara pantas disesuaikan dengan kedudukan dan
kemampuan dari seorang suami.
C.
Faktor-faktor yang Menyebabkan Mahar Wanita
Madura Rendah
Terjadinya kasus seperti itu karena pihak si wanita
merasa kasihan terhadap calon suami disebabkan ketidakmampuan pihak atau
kelurga calon suami adanya anggapan miring ketika meminta mahar terlalu tinggi
dan ketidaktauan calon istri tentang mas kawin disebabkan karena kekurangan
kedewasaanya.
Sikap wanita madura. Mereka mengukur mas kawin itu
dengan rendahnya dan tingginya seseorang, hal ini dibuktikan dengan mengatakan
rendahnya mahar berarti kurang begitu dihargai, merendahkan bahkan meremehkan
seorang wanita. Dan itu terbukti yang terjadi di masyarakat dimana seorang
suami selalu monopoli istrinya. Ada
yang menggangap bahwa mas kawin adalah sebuah penghargaan atau hadiah bagi si
wanita, jadi apapun bentuknya dan berapapun banyaknya, sekalipun mas kawin itu
rendah, yang penting patut dan bermanfaat dijadikan mas kawin itu tidak
masalah.
Jika dikaitkan dalam persepektif hukum islam tentang
rendahnya mahar wanita, mas kawin atau mahar merupakan salah satu syarat
rukunya pernikahan. Dalam hukum islam mahar atau mas kawin itu tidak ditentukan
batas-batas minimal maupun masksimal jadi yang terjadi di masyarakat sekarang
tentang rendahnya mahar itu sesuai dengan hukum islam. Dalam sebuah ikatan
pernikahan salah satu kewajiban dari suami terhadap istri adalah memberikan mas
kawin yakni pemberian yang wajib dari calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[5]
Rendahnya mahar dalam persepektif islam, islam tidak
menerapkan jumlah besar atau kecilnya mahar karena adanya perbedaan kaya dan
miskin, lapang dan sempitnya riski, selain itu kesiapan masyarakat mempunyai data
dan istiadatnya sendiri karena itu islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu
berdasarkan kemampuan masig-masing orang
atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan
tentang mahar tidaklah dimasukkan kecewa untuk menunjukkan pentingnya nilai
mahar tersebut tanpa melihat besarnya jumlah.
Rasullah Saw adalah teladan yang baik dan beliau telah
memberikan kepada ummatnya contohnya amat mulia dalam hal ini, hingga melekat
kuat dalam kehidupan masyarakat dan menjadikan kaidah dasar pada semua problema
kehidupan yaitu kaidah dasar pada semua problema kehidupan manusia yaitu kaidah
memudahkan dan meringankan.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tradisi adalah kebiasaan yang turun menurun dalam
sebuah masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dalam kehidupan sehingga
kebiasaan tersebut merupakan faktor dari adanya sistem perubahan, sedangkan
mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam
sebuah pernikahan
Dari macam-macam mahar yang telah disebutkan bahwasannya mahar itu
terdiri dari dua macam yaitu mahar musamma dimana disitu dijelaskan bahwa mahar
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Terus yang kedua adalah mahar
mistil disitu dijelaskan bahwa mahar mistil adalah mahar yang seharusnya
diberikan kepada perempuan namun disini harus dibayar secara pantas sesuai
dengan kedudukan dan kemampuan suami.
Faktor yang menyebabkan mahar wanita rendah itu karena
disebabkan oleh ketidakmampuan pihak atau kelurga yaitu calon suami dalam
artian pihak suami tidak mampu membayar mahar yang mahal, kaitannya dalam
persepektif islam tentang rendahnya mahar wanita dalam hukum islam itu tidak
ditentukan batasan-batasan minimal maupun maksimalnya.
B.
Saran
Jika ada kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan
makalah ini baik di sengaja ataupun tidak kami mohon kritikan serta saranya
yang niatnya untuk memperbaiki makalah saya kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø WS. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia, 1994
Ø Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 1945
Ø Anshori Umar Shanggal, Fiqh Syafi’I Sistematis, Semarang: CV. Cisy. Syifa,
1994
Ø Slamet Abidin dkk, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia,
1999
Ø Mohammad Jawad Moaniyah, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: PT. Tentera
Baristama,1996
Ø Sayyid Sabiq, Fighus Sunnah
RIWAYAT
HIDUP
Syamsul Arifin dilahirkan di
Dusum Oberran RT 01/RW 06 Desa Murtajih Kecamatan Pademauwu Kabupaten
Pamekasan. Lahir pada Tanggal 26 April 1989 anak ke 1 dari 2 bersaudara, putra
dari bapak M. Sajjadi dan Ibu Hamsiya .
Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di tempuh di sejumlah tempat
yang berbeda. Sekolah dasar lulus pada tahun 2001 di SDN Murtajih II, SLTP tahun 2004 di MTs. Negeri Pademawu, SMA
tahun 2006 di Madrasah Aliyah Negeri Jungcangcang Pamekasan I, sedangkan
perguruan tinggi ditempuh di STAIN
Pamekasan sejak tahun 2007, pada jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan
Agama Islam. (085 334 820 495)
[1] WS.
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 4
[2] Ahmad
Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1945),
hlm. 222
[3] Anshori
Umar Shanggal, Fiqh Syafi’I Sistematis, (Semarang: CV. Cisy. Syifa, 1994), hlm. 288
[4] Slamet
Abidin dkk, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 105
[5] Mohammad
Jawad Moaniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Tentera Baristama,1996), hlm.
364
[6] Sayyid
Sabiq, Fighus Sunnah, hlm. 69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar